Komorbid Itu Bernama “Zona Nyaman”

Harapan untuk memulai Pembelajaran Tatap Muka (PTM) dengan Now Normal di Semester GenapTahun Ajaran 2020/2021 terpaksa pupus dengan terus meningkatnya jumlah terpapar Covid-19 hingga akhir Januari 2021 yaitu 1.066.313 orang.  Dinas Pendidikan di beberapa kabupaten/kota sampai lebih dari dua kali mengeluarkan edaran penundaan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) terbatas demi mencegah terbentuknya cluster baru di sekolah.

Di tengah usaha keras pemerintah untuk mengendalikan laju Covid-19 melalui pemberian vaksin dan penerapan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) meskipun dinilai tidak efektif karena mobilitas tetap tinggi,  ekonomi merosot namun angka Covid-19 tetap tinggi,  ada hal menarik yang perlu dicermati yaitubergesernya tatanan nilai dalam dunia pendidikan.

Terlepas dari dampak positif pemberlakuan kebijakan Belajar Dari Rumah (BDR) yaitu menekan penyebaran pandemi, mendekatkan hubungan orang tua dan anak serta meningkatkan pemahaman IT,  BDR perlahan membentuk sebuah habitsbaru yang berbingkaiZona nyaman (Comfort zone).

Setelah hampir satu tahun di bawah cengkraman pandemi Covid-19, nilai-nilai karakter dan kebiasaan baik yang tertanam sebelum pandemi banyak mengalamiperubahan seperti, disiplin, etos kerja, kemandirian dan pengembangan diri.  Banyak orang tua mengeluh, saat ini anak sulit diajak untuk melakukan aktifitas baik padahal sebelum pandemi mudah dilakukan misal; bangun pagi, sholat shubuh, belajar, mengerjakan tugas sekolah dll.

Demikian juga para pendidik, kemampuan mengelola pembelajaran dengan kreatif dan inovatif masih jauh panggang dari api.  Alih-alih memfasilitasi kebosanan anak selama BDR dengan strategi-strategi baru dalam pembelajaran, yang ada hanya pola-pola lama yang membuat anak enggan melakukan.

Kebijakan pemerintah untuk mempermudah  proses pembelajaran selama masa pandemi bagi sebagian orang ternyata jusru melemahkan dan mengubah kebiasaan baik yang sudah ada,sehingga tak salah jika dikatakan bahwa “zona nyaman” adalah semacam penyakit penyerta (komorbid) dalam pandemi Covid-19 di dunia pendidikan saat ini.

 Merujuk pada laman id.wikipedia.org,Komorbiditas (kata benda) dan komorbid (kata sifat) artinya penyakit penyerta; istilah ini dalam dunia kedokteran adalah gambaran kondisi bahwa ada penyakit lain yang dialami selain dari penyakit utamanya. Dalam Bahasa Indonesia sederhana sama artinya dengan Komplikasi(medis), yaitu kondisi di mana dua penyakit atau lebih hadir secara bersama-sama. Definisi yang lebih luas menggambarkan kata ini bahwa yang hadir selain penyakit utamanya tidak selalu harus berbentuk penyakit tapi juga bisa berupa perilaku yang mengarah kepada gaya hidup tidak sehat.

Lebih lanjut, Wikipedia menjelaskan, komorbiditas berasal dari kata dalam Bahasa Inggris comorbidity, yang terdiri atas dua unsur, yaitu co- “hadir bersama” dan morbidity “kondisi penyakit”. Kata comorbid merupakan formasi balik (menciptakan kata baru dari bentuk yang telah ada) dari kata comorbidity. Kamus-kamus etimologi tentang Bahasa Inggris menginformasikan bahwa kata ini mulai dipergunakan sejak pertengahan 1980-an, tepatnya tahun 1985 dan kata komorbidini sendiri menjadi viral sejak adanya pandemi

Sedangkan zona nyaman adalah sebuah keadaan dimana orang merasa terlena, tanpa tekanan, rendah resiko, tidak peka terhadap lingkungan, hal yang dikerjakan hanya itu-itu saja (stagnan), tanpa adanya inovasi atau perubahanantai dan bebas.  Berada di zona nyaman memang menggiurkan, namun berdiam diri dalam kondisi seperti ini membuat sulit maju dan berkembang serta matinya kreatifitas. Jika ini terus terjadi maka kita akan kehilangan salah satu sisi penting sebagai yaitu makhluk pembelajar. 

Menurut M. Syafii (2012)  dalam bukunya Sang Pembelajar dan Guru peradaban: seorang pembelajar adalah seorang yang berupaya memperluas pemahaman dan kesadaran dirinya tentag hakikat dirinya sendiri (self-awareness), dunia sekitar (cosmo-awareness), kesadaran tentang sang pencipta (Teo-awareness), dan relasi antara ketiganya (relationship-awareness) ke tingkat yang lebih dalam dan lebih tinggi.

Oleh karena itu, sebagai makhluk pembelajar secara mental kita dikaruniai rasa keingintahuan yang besar untuk mempelajari berbagai halsehingga dituntut dinamis dan terus bergerak agar bisa memahami dan memecahkan berbagai persoalan. Agar tidak kehilangan  sisi penting itu kuncinya satu, yaitu segera keluar dari zona nyaman. Keluar dari zona nyaman bukan berarti kita pindah pada zona ketidaknyamanan, namun kita akan beralih ke “Zona Petualang” sehingga akan tercapai aktualisasi diri (self-actualization needs) sebagai kebutuhan tertinggi dari lima kebutuhan dasar manusia menurut Abraham Maslow. 

Dengan keluar dari zona nyaman maka kita:  Pertama, menjadi pribadi yang open mindedyaitumemiliki pemikiran yang terbuka sehingga lebih kreatif, tampil beda, mudah menerima pengalaman, kritik dan cara pandang yang baru.

Kedua, dapat mengenali diri sendiri dengan lebih baik. Hal ini penting agar kita dapat  memahami kelebihan dan kekurangan yang dimiliki sehingga dapat menggali lebih dalam tujuan/target yang ingin dicapai serta memunculkan potensi-potensi yang selama ini tersembunyi.

Ketiga, memperluas relasi dan dapat bersosialisasi dengan banyak orang.  Mengenal dan menjalin hubungan dengan banyak orang dapat membuka beragam peluang untuk mengembangkan potensi diri.

Keempat, upgrade diri. Bukan hanya smartphone atau gadget yang perlu upgrade, kitapun juga perlu agar terus dapat mengembangkan diri dan menambah ilmu pengetahuan.

Jadi tunggu apa lagi? Segeralah lepas dari komorbid yang bernama zona nyaman agar kita tetap menjadi makhluk pembelajar dan memulai langkah kecil menuju sukses.

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*