Sudah setahun kita dihadapkan pada situasi pandemi covid-19 yang hingga saat ini belum tahu kapan berakhir. Kondisi ini memaksa semua orang untuk beradaptasi, tak terkecuali para pendidik. Di awal pandemi pendidik diharuskan tetap melaksanakan pembelajaran tanpa ada siswa, moda daring menjadi pilihan. Ketidaksiapan pendidik menimbulkan kepanikan-kepanikan tersendiri di samping kepanikan akan pandemi itu sendiri. Melek teknologi menjadi tuntutan, namun piawai dalam pemanfaatan teknologi ternyata bukan jaminan pembelajaran bisa berlangsung efektif karena yang dihadapi adalah siswa dengan kemampuan beragam dalam berkomunikasi secara online, dan dengan permasalahannya masing-masing, belum lagi sarana prasarana yang belum memadai. Diantara kesibukan memberikan materi online pada siswa, mereka juga harus membagi waktu untuk menemani anak-anak mereka sendiri dalam proses pembelajaran di rumah.
Permendikbud No. 22 tahun 2016 tentang Standar Proses Dikdasmen sebenarnya sudah mengatur konsep pembelajaran berbasis digital. Pendidik diharapkan mampu meramu pembelajaran dan mengekspor kompetensi kepada siswa, juga harus memiliki keterampilan komunikasi dan kolaborasi yang tidak luput dari kemampuan berbasis teknologi informasi. Diharapkan ide-ide baru dapat diterapkan pendidik dalam proses pembelajaran sehingga memacu siswa untuk berpikir kreatif dan inovatif dalam mengerjakan tugas dengan memanfaatkan teknologi informasi. Pendidik diharapkan memiliki literasi teknologi informasi sehingga mampu memanfaatkannya dalam proses belajar mengajar.
Ketidaksiapan pendidik terhadap kompetensi yang diharapkan tersebut dan kegagapan mereka dalam menghadapi situasi mulai berdampak terhadap respon siswa pada penyampaian materi maupun pemberian tugas. Siswa mulai bosan dan menghilang satu per satu dari pembelajaran daring. Akhirnya pendidik mendapat tugas tambahan yaitu melacak keberadaan siswa yang tidak aktif dalam pembelajaran daring dan memotivasi atau tepatnya merayu bahkan dengan dibumbui ancaman nilai agar mereka kembali aktif dalam pembelajaran daring.
Kerinduan siswa akan sekolahnya sedikit terobati dengan adanya kebijakan pembelajaran tatap muka dengan batasan-batasan tertentu dan protokol kesehatan yang sangat ketat. Seiring berjalannya waktu, kegiatan tatap muka ini tidak menarik lagi buat mereka. Ketatnya protokol kesehatan yang harus mereka patuhi, kelas yang terasa sepi karena hanya berisi seperempat jumlah siswa, tidak ada kantin, terbatasnya interaksi dengan temannya, semua itu membuat jumlah siswa semakin hari semakin berguguran, bahkan kadangkala pendidik hanya bisa menatap kosong kelas yang akan diajarnya karena tidak ada satu pun siswa yang hadir.
Di tengah berbagai permasalahan pembelajaran selama pandemi tersebut, Mendikbud melalui SE nomor 1 Tahun 2021 meniadakan Ujian Nasional. Kedaulatan kelulusan siswa sepenuhnya diserahkan pada sekolah. Dengan demikian sekolah harus memiliki instrumen evaluasi untuk mengukur, menilai, dan menentukan kelulusan siswa. Keputusan sekolah untuk menaikkan atau meluluskan siswanya harus benar-benar terukur. Setiap sekolah tentunya akan memiliki standar yang berbeda-beda.
Selama ini Unas dianggap kurang ideal untuk mengukur prestasi belajar karena materi terlalu padat dan berfokus pada hafalan, bukan kompetensi. Unas belum menyentuh aspek kognitifnya dan belum menyentuh karakter siswa secara holistik. Namun ada kekhawatiran dari berbagai pihak dengan ditiadakannya Unas akan mengurangi motivasi belajar siswa mengingat siswa tidak memiliki tantangan untuk kelulusan maupun untuk melanjutkan ke jenjang sekolah berikutnya. Pertanyaannya, bagaimana kita bisa mengukur prestasi dan menentukan kelayakan siswa untuk dianggap lulus dalam satu jenjang. Di sini sekolah perlu mulai mengubah mindset bahwa sekolah bukan sekedar untuk memperoleh nilai. Sekolah adalah tempat siswa belajar dan menempa diri agar bisa menjadi manusia yang lebih baik serta bermanfaat bagi sesama. Jadikan proses pembelajaran di sekolah sebagai tempat untuk mengidentifikasi potensi siswa. Sehingga siswa akan tetap belajar dengan serius meski tidak ada Unas, karena mereka punya gambaran mengenai bagaimana akan menjalani kehidupan setelah lulus.
Asesmen Kompetensi Minimum dan survei karakter mulai ditawarkan Kemendikbud untuk menjadi ukuran pendidikan di tahun 2021 yang diharapkan akan menjadi tantangan baru bagi sekolah, dari SD hingga SMA untuk meningkatkan kualitas pendidikannya. AKM ini merupakan upaya untuk memotret secara komprehensif mutu proses dan hasil belajar satuan pendidikan dasar dan menengah di seluruh Indonesia. Informasi yang diperoleh diharapkan dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas proses pembelajaran di satuan pendidikan, yang pada gilirannya dapat meningkatkan mutu hasil belajar siswa. Dalam AKM ini ada dua hal yang diharapkan akan mampu meningkatkan kualitas pendidikan yaitu kualitas literasi dan revolusi mental dan karakter. Siswa diharapkan mampu berpikir kritis, tidak hanya sekedar mampu menjawab soal. Siswa diharapkan mampu meningkatkan kualitas mentalnya untuk mampu bersaing dengan siswa lain. Ahmad Munjid (2019), Dosen FIB UGM menyatakan bahwa pendidikan karakter menjadi kunci mengukur kualitas pendidikan siswa, karena sistem pendidikan kita tidak cukup efektif menjalankan tanggung jawab utamanya: mengasah kritisisme dan nalar logis para siswa. Kita terlalu banyak menghabiskan waktu untuk mengurus prosedur dan formalitas, kurang memedulikan esensi. Maka, karakter menjadi suatu ukuran yang proporsional dalam pendidikan.
Seperti apa AKM ini bisa meningkatkan kualitas pendidikan, mari kita ikuti prosesnya dan kita tunggu bersama karena pelaksanaannya yang semula dijadwalkan bulan Maret-April, karena alasan antisipasi pandemi yang relatif meningkat dan memastikan kesiapan sekolah, pemerintah mengundur pelaksanaannya di bulan September-Oktober.
Ditulis Oleh: R. HARYATI HASYIANI
Tenaga Pengajar SMPN 6 Sampang
Leave a Reply